Thursday 27 January 2011

Lebih bodoh

Aku menatap hujan. Dingin. Kali ini hujan terlalu ringan, tapi merasuk dalam jiwa.
“Dia pergi ke mana, Bu?” kataku sambil melihat daun-daun di pohon belimbing yang sepertinya terlalu teduh untuk dilewatkan.
“Mana Ibu tahu? Wong dia pergi saja selalu nggak bilang-bilang,” Ibu tahu, ia berbohong.
Dia pasti tahu ke mana Sekar pergi. Paling tidak ke rumah lelaki jahanam itu. Lelaki yang menanam benih di dalam rahimnya tanpa ingin bertanggung jawab.
Bodohnya cinta, Sekar masih saja datang ke rumahnya. Mencoba beberapa cara untuk meraih lelaki bangsat itu. Apa bagusnya sih seorang pengusaha kaya tapi kelakuan seperti binatang? Mungkin aku juga tidak bisa menyalahkan lelaki jahanam itu, karena Sekar juga turut andil dalam masalah ini. Siapa suruh dia juga mau? Ya ampun Tuhan, apakah cinta begitu buta? Sekar sampai mau menyerahkan dirinya untuk disantap lelaki itu? Sekar memang pacar gelap lelaki itu. Dia yang memilih. Apakah hidup begitu sampah?
“Heh, lagi apa sih kamu? Manyun aja!”
“Eh! Kamu! Aku lagi merenungi manusia-manusia aneh itu. Kalau aku jadi mereka, aku tidak akan berbuat seperti itu”
“Ya, kamu bisa ngomong seperti itu sekarang. Tapi kalau kamu jadi mereka?”
“Ya kan, kalau. Setiap hari ada saja yang aneh. Kemarin malah aku melihat Sekar menangis semalaman di kamarnya.”
“Lalu kamu ingin menghiburnya?”
“Ya tidak. Biarkan saja dia dewasa sendiri. Yang aku bingung. Dulu dia itu tidak seperti itu! Sekar itu perempuan yang ceria. Mana pernah ia menangis? Tapi hidupnya berubah ketika pengusaha jahanam itu datang ke hidupnya. Hei, memangnya cinta itu bisa membuat seseorang menjadi buta ya?”
“Semua orang bisa berubah. Aku juga tidak tahu. Tapi mungkin saja seperti itu. Kamu pernah merasakan cinta?”
“Cinta itu apa?”
“Cinta itu ketika kita dapat melakukan apapun untuk meraih orang yang kita sayangi. Kamu rela melakukan apa saja untuk dia.”
“Ha? Memang segitu besarnya kekuatan cinta?”
“Aku rasa begitu. Kenapa?”
“Bagaimana caranya merasakan cinta?”
“Itu datang tiba-tiba. Kamu juga tidak tahu kenapa itu datang. Ya, kamu pasti akan merasakannya juga nanti.”
“Kalau memang cinta itu datang nanti, aku tidak mau sebodoh Sekar.”

***
Waktu itu hujan. Aku melayang-layang di antara pohon-pohon itu. Mencoba menabrakkan diri. Aku bahkan tidak mengatakan aku cinta dia. Aku bahkan tidak pernah merasakan cintanya. Lagipula aku bodoh. Aku cinta seorang manusia? Mana mungkin! Itu bodoh sekali! Aku menabrakkan diri lagi ke pohon itu. Biarlah aku mati. Dan sekali lagi, ternyata aku lebih bodoh dari Sekar. (*)

No comments:

Post a Comment