Mahatma Gandhi, tokoh pejuang bagi
kemerdekaan India, yang terkenal dengan gerakan nonkekerasan, suka pergi ke
mana-mana dengan telanjang dada. Pada suatu hari, ketika ia mengunjungi sebuah
desa, seorang gadis remaja merasa risih dengan penampilannya, lalu mendekatinya
dan berkata:
“Mengapa Kakek tidak mengenakan
baju? Jika Kakek berkenan, saya akan minta kepada ayah saya untuk memberikan
baju untuk Kakek.”
“Jika kau
memberi aku baju,” kata Gandhi, “beri juga saudara-saudaraku yang lain. Jika
tidak, mereka yang juga berpakaian seperti aku ini akan iri terhadapku, lalu
akan bertengkar denganku.”
“Kalau begitu,
saya akan minta kepada ayah saya untuk memberikan baju untuk semua saudara Kakek,”
jawab gadis itu. “Berapa jumlah saudara Kakek?”
“Tidak banyak,
kok. Cuma empat ratus juta,” jawab Gandhi sambil tersenyum.
Mendengar jawaban Gandhi, gadis
itu tersipu-sipu dan tidak tahu harus berkata apa.
Seorang pemimpin seperti Mahatma
Gandhi tidak pernah meninggalkan rakyatnya di belakang. Dia justru selalu ingin
menjadi bagian dari rakyatnya. Ia sebisa mungkin akan melakukan segala cara
untuk dapat membagi apa yang ia miliki dengan rakyatnya. Ia selalu mau
diperlakukan sama dengan rakyatnya. Seorang pemimpin yang rendah hati, memiliki
integritas, dan sangat bijaksana.
Di ranah bumi Indonesia,
sepertinya diperlukan mental pemimpin yang seperti itu. Di mana saat ini kita
sedang menghadapi krisis multidimensional. Korupsi di mana-mana. Rakyat miskin
semakin menjadi-jadi. Kesejahteraan dari rakyat pun menurun.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai suatu badan yang menjadi wakil dan tangan dari rakyat telah melakukan
hal yang bertentangan dari apa yang dilakukan oleh Gandhi di atas.
Di dalam akronim DPR terdapat
unsur kata “rakyat” namun apakah kata itu diserapi maknanya oleh anggota DPR
sendiri? Rasanya tidak. Kata “rakyat” hanya hiasan pemanis saja agar
kelihatannya mereka bagian dari rakyat. Tapi kenyataannya mereka bukan.
Bagaimana bisa wakil rakyat
tersebut mengerti arti kata rakyat jika yang mereka lakukan hanya menghamburkan
uang negara dengan alasan fasilitas dan kepentingan kenyamanan pribadi mereka. Seorang
pemimpin sejati seperti Gandhi, tidak butuh fasilitas untuk dapat
memperjuangkan kemerdekaan India. Ia malah ingin menjadi sama dengan rakyatnya,
tanpa dibedakan apapun. Jika rakyat sengsara, ia juga harus merasakan sengsara.
Jika rakyat tidak memakai baju, ia juga harus tidak memakai baju. Ya tentunya
tidak harus seekstrem yang dilakukan Gandhi, namun setidaknya pahamilah
rakyatmu.
Ketika persoalan kemiskinan
semakin membelenggu di tanah Indonesia ini, mereka yang disebut sebagai wakil
rakyat malah merenovasi gedung mereka dengan biaya sampai bermiliar-miliar
rupiah. Lalu ketika mereka merenovasi gedung apakah hati mereka terenovasi
seluruhnya menjadi seorang pemimpin seperti Gandhi? Bahkan DPR kitapun tidak
mengemban tugas sesulit Gandhi yang memperjuangkan kemerdekaan rakyat India.
Mereka hanya harus mengisi kemerdekaan. Tapi pernahkah mereka memahami
rakyatnya?
Mereka sibuk dengan mencari
kesenangan pribadi tanpa mengerti arti menjadi wakil rakyat itu sendiri. Bagaimana
bisa dapat menjadi wakil rakyat kalau mereka sendiri tidak paham bagaimana
caranya untuk menjadi rakyat? Mereka secara tidak sengaja menjadi seorang
pejabat yang lupa akan tugas dan tanggung jawab yang seharusnya dilaksanakan oleh
mereka. Gandhi bahkan menganggap seluruh rakyatnya adalah saudara dari dirinya.
Kalau DPR?
Masalah mentalitas seorang
pemimpin memang sangat krusial dalam membangun arah pembangunan dari rakyatnya.
Mentalitas pemimpin ini hanya tergantung dari hati nurani masing-masing orang.
Ya kita lihat saja, bagaimana para wakil rakyat tersebut mendefinisikan kata
“rakyat” dalam beberapa tahun ke depan. Masihkah sama?